Begitulah hidup bagi mereka yang tinggal
di Pompeii, Italia pada akhir 70 Masehi. Bahkan Ada pornografi kuno
serta hiburan berupa rumah bordil yang menyediakan setiap jenis selera
seksual, seperti yang dikutip dari Alam Mengembang jadi Guru.
Mereka yang bangun, dan memulai hari
mereka, kemudian duduk untuk makan siang pada tanggal 24 Agustus, 79 AD
tidak tahu bahwa Gunung Vesuvius akan memulai suatu tirani letusan
gunung berapi yang tidak akan berhenti selama 24 jam. Letusan ini tidak
menyisakan seorangpun dari mereka yang tinggal di Pompeii, dan juga
tidak menyisakan mereka yang tinggal di kota-kota kecil terdekat seperti
Herculaneum dan Oplontis. Aliran lava dan awan Pyroklastik yang sangat
panas berlari menuruni gunung dengan kecepatan 100 mph, mengubur semua
orang di jalan-jalan dan rumah mereka, bahkan sebelum mereka bisa
bereaksi, apalagi melarikan diri.
Malapetaka itu terjadi dalam waktu yang
sangat mendadak sehingga menimpa segala sesuatu yang ada di kota
termasuk segala aktifitas sehari-hari yang tengah berlangsung. Aktifitas
yang dilakukan penduduk dan segala peninggalan yang ada ketika bencana
terjadi kini masih tertinggal persis sama seperti ketika bencana
tersebut terjadi dua ribu tahun yang lalu, seolah-olah waktu tidak
bergeser dari tempatnya.
Wajah wajah Ketakutan, putus asa dan apa
pun yang mereka lakukan pada saat itu secara sempurna diawetkan dalam
abu dan lava yang mengeras. Hal ini menguntungkan para arkeolog karena
mereka dapat melihat hampir secara sempurna pula sejarah budaya kuno ini
– jendela ke dalam kehidupan orang-orang yang hidup pada waktu itu.
Perhatikan bagaimana tubuh tubuh abu
mereka menggambarkan usaha mereka yang berupaya mati-matian untuk
menutup mulut mereka, melindungi anak-anak mereka yang belum lahir, atau
mencoba untuk menjaga diri dari serangan puing-puing dan batuan
vulkanik.
Para Dokter diketahui dari alat bedah
yang mereka genggam, “dominas”, atau wanita kaya, terlihat pada
perhiasan mahal dan pusaka yang mereka pakai, sedangkan budak ditemukan
dengan cincin besi di sekitar pergelangan kaki mereka. Item seperti ini
memberi wawasan berharga bagi arkeolog untuk menentukan milik siapakah
tubuh tubuh yang pernah hidup tersebut, dan sebagai apakah mereka ketika
masih hidup.
Kota Pompei adalah kawasan elit bagi
orang orang Romawi yang kaya dan cukup beruntung sehingga mampu membeli
kehidupan pantai yang mewah. Namun, dalam beberapa jam, kota yang indah
ini terkubur di bawah massa abu vulkanik massa dan batuan.
Pompeii memiliki kanal kanal air yang tak
pernah terdengar dalam periode sejarah masa itu, yang menyalurkan air
ke 25 air mancur kota. Kota ini juga memiliki amfiteater, dan setidaknya
empat pemandian umum, banyak perumahan perumahan pribadi yang mewah,
dan berbagai bisnis yang melayani selera selera aneh dari orang orang
kaya yang tinggal di sana.
Banyak Jalan-jalan di kota Pompeii mirip
dengan jalan jalan di banyak kota besar yang ada saat ini. Ada jalan,
jalan raya dan lalu lintas ramai dari orang orang yang datang dan pergi
sepanjang waktu. Sedangkan Kehidupan malam di kota pompei tidak ada
tandingannya.
Orang-orang dari Pompeii tampaknya telah
menyembah dewa falus. Banyak benda di Pompeii memiliki beberapa
simbolisme erotis atau karya seni yang ditujukan padanya. Berikut tanda
di luar sebuah toko roti Pompeii.
Tanda toko roti di atas berbunyi
“Felicitas habitat HIC”, yang berarti “Di sini kehidupan kebahagiaan”
atau “Ini kehidupan keberuntungan”. Nasib baik diyakini berada di mana
saja dewa phallic disembah dan digambarkan.
Di Pompei, pekerja seks di rumah-rumah
pelacuran dibuat tiga kali lebih banyak dari jumlah rata-rata pekerja di
kota itu. Sehingga tindakan jual beli seksual sangat murah bagi siapa
saja di kota ini – berbeda dengan semua kota-kota Eropa lainnya saat
itu. Prasasti di atas rumah-rumah bordil, yang cukup besar dan lapang,
terlalu mencolok sehingga Anak-anak tidak terlindungi dari pornografi
dan patung patung porno sang dewa phalluses.
Setidaknya 20.000 orang menghuni Pompeii.
Titik tertinggi pertumbuhan ekonomi, aktivitas dan populasi diwujudkan
pada saat bencana itu terjadi. Dekat tepi kota, banyak orang tinggal di
vila-vila atau kelompok kecil dari rumah perahu (seperti komunitas
palatial gated) mirip dengan yang di Venesia.
Mereka yang tinggal di Pompeii
diperkirakan tidak mengetahui tanda tanda akan terjadinya letusan gunung
dan aktivitas vulkanis lainnya. Rumah-rumah penduduk tampaknya
terganggu dengan gangguan gangguan Alam ini. Inilah sebabnya mayoritas
orang tidak melarikan diri atau mencari perlindungan. Mereka pikir, hari
itu akan menjadi hari seperti hari-hari lainnya.
Diketahui bahwa pada tahun 62 M, sebuah
gempa bumi yang cukup besar hampir meratakan seluruh kota ini dengan
tanah. Namun, sebagian kota ini dibangun kembali. Bayangkan betapa besar
nya kota ini sebelum terjadinya gempa bumi tersebut!
Salah satu konsern utama mereka yang
tinggal di kota itu adalah melestarikan kesayangan mereka (dan
terkenal!) yaitu Seni. Para ilmuwan mampu memulihkan banyak
potongan-potongan yang telah dikembalikan setelah gempa atau berasal
dari periode waktu sebelum letusan mematikan.
Rekonstruksi kota ini setelah gempa besar
terhambat oleh gempa bumi gempa bumi kecil yang datang lebih banyak dan
lebih sering. Saat ini, kita akan memahami ini sebagai pertanda untuk
letusan gunung berapi yang mengerikan. Mereka tidak menyadari hal ini
pada waktu itu.
Ironisnya, letusan terjadi setelah
perayaan festival dewa api, Vulcanalia. Para ilmuwan percaya bahwa
penyebab utama kematian bagi mereka di Pompeii dan daerah sekitarnya
adalah panas dan sesak napas akibat abu. Diperkirakan suhu di
sepanjang,setidaknya 10 kilometer di sekitar Gunung Vesuvius adalah 250 °
C. Bahkan meskipun orang berada di rumah mereka atau di sebuah
bangunan, tidak akan pernah ada cara bagi mereka bisa selamat dari panas
yang luar biasa tinggi. Lebih buruk lagi, orang-orang banyak yang
terkubur di bawah dua belas lapisan tanah, hingga 82 kaki tebalnya, dan
setelah itu diguyur hujan hujan deras untuk setidaknya enam jam.
Lava gunung Vesuvius menghapuskan
keseluruhan kota tersebut dari peta bumi dalam waktu relatif singkat.
Yang paling menarik dari peristiwa ini adalah tak seorang pun mampu
meloloskan diri dari keganasan letusan Vesuvius. Hampir bisa dipastikan
bahwa para penduduk yang ada di kota tersebut tidak mengetahui
terjadinya bencana yang sangat singkat tersebut. Jasad dari satu
keluarga yang sedang asyik menyantap makanan terawetkan pada detik
tersebut. Banyak sekali pasangan-pasangan yang tubuhnya terawetkan
berada pada posisi sedang melakukan persetubuhan. Yang paling
mengagetkan adalah terdapat sejumlah pasangan yang berkelamin sama,
dengan kata lain mereka melakukan hubungan seks sesama jenis (homoseks).
Ada pula pasangan-pasangan pria dan wanita yang masih ABG. Hasil
penggalian fosil juga menemukan sejumlah mayat yang terawetkan dengan
raut muka yang masih utuh. Secara umum, raut-raut muka mereka
menunjukkan ekspresi keterkejutan, seolah bencana yang terjadi datang
secara tiba-tiba dalam sekejab.
Penggalian Pompeii sekitar pergantian
abad ke-20 menemukan banyak gambar erotis dan gambar penis dengan ukuran
oversize dimana mana, bahkan pada item rumah tangga. Penemuan ini
sangat mengganggu bagi mereka yang menemukan barang-barang ini dan
temuan ini ada yang dihancurkan, dikubur kembali atau terkunci di Museum
Nasional Naples, Italia selama lebih dari 100 tahun. “Seni” barang
barang ini dipertontonkan kepada publik setelah tahun 2000, dan tidak
ada anak di bawah umur diizinkan untuk melihat item ini.
Jelaslah bahwa Pompeii adalah Sodom dan
Gomora jilid dua, dan Pemusnahan Pompeii dari muka bumi oleh bencana
yang demikian dahsyat ini tentunya bukan tanpa maksud. Kalau kota Sodom
benar benar dihancurkan oleh Tuhan, kota pompei “diawetkan” oleh Tuhan
agar kita bisa melihat, bagaimana kesudahan orang orang yang meyimpang
dalam perilaku seks nya.
Kendatipun semua peringatan ini, tidak
banyak yang berubah di wilayah di mana Pompeii dulunya pernah ada.
Distrik-distrik Naples tempat segala kemaksiatan tersebar luas tidaklah
jauh berbeda dengan distrik-distrik bejat di Pompeii. Pulau Capri adalah
tempat di mana para kaum homoseksual dan nudis (orang-orang yang hidup
telanjang tanpa busana) tinggal. Pulau Capri diiklankan sebagai “surga
kaum homoseks” di industri wisata. Tidak hanya di pulau Capri dan di
Italia, bahkan hampir di seantero dunia, kerusakan moral tengah terjadi
dan sayangnya mereka tetap saja tidak mau mengambil pelajaran dari
pengalaman pahit yang dialami kaum-kaum terdahulu.
sumber : keepo.me
sumber : keepo.me
Tidak ada komentar:
Posting Komentar