Banyak orang mengenal serangan jantung seperti yang digambarkan
dalam film atau sinetron, yakni mata mendelik, dada sesak, dan tangan
memegangi dada ketika pingsan. Padahal, adakalanya rasa sakit tidak
mengikuti pola tertentu, bahkan tanpa diikuti rasa nyeri dada.
Simak
kisah serangan jantung seperti yang dialami M Latief (38). Jurnalis
yang memiliki hobi naik gunung ini mengalami serangan jantung ringan
dengan gejala mirip masuk angin. Inilah pengalamannya.
Serasa
baru selesai joging jarak jauh, keringat seketika mengucur deras dari
kening, leher, dan sebagian badan saya. Anehnya, itu keringat dingin,
bukan hangat. Dingin sekali.
Sedetik keringat menderas, tiba-tiba
dada juga terasa sesak, diikuti tengkuk hingga bahu yang menegang. Fun
City, tempat permainan anak Margo City, Depok, tempat saya berdiri itu,
seperti pelan-pelan menyempit, mengimpit.
Pikiran saya mulai kalut. Maklum, baru kali ini mendadak kondisi badan drop secepat itu dengan tanda-tanda yang aneh, tak biasanya.
Ketika
itu, rasa sesak di dada semakin menjadi. Awalnya memang sesak biasa,
tetapi perlahan-lahan makin terasa nyeri, seperti diremas-remas dengan
keras, bahkan lebih dari itu, seperti diinjak-injak. Napas makin sulit.
"Aneh, kok begini," batin saya.
Maklum,
perubahan kondisi tubuh mendadak seperti ini baru saya alami. Rasanya
seperti masuk angin, tetapi anehnya bukan seperti masuk angin biasa.
Lebih dari masuk angin.
Pelan-pelan saya coba bernapas. Keringat makin deras. Kaki juga mulai lemas.
Ada sekitar hampir tiga menit perubahan aneh itu berlangsung pada diri saya. Saya lalu panggil kedua anak saya.
"Abang, adik, ayo udahan
dulu mainnya. Dada ayah sesak, ayah mau ke dokter sekarang. Nanti kalau
ketemu ibu, kamu bilang ke ibu ya, Bang, dada ayah sesak dan keluar
keringat dingin," kata saya kepada kedua putra saya, Azka (9) dan Azzam
(5).
Sebelum kejadian itu, istri saya memang izin pergi sejenak
ke toilet. Hanya saya yang menemani kedua anak saya di tempat hiburan di
lantai dasar pusat belanja tersebut. Namun, tak sampai lima menit istri
saya pergi, kejadian itu berlangsung.
Saya dan kedua anak saya
pun bergegas ke lantai satu, menyusul istri saya. Prinsip saya, jalan
pelan-pelan dan usahakan tetap sadar atau tidak pingsan. Otak saya hanya
memerintah untuk selekasnya ke rumah sakit.
Hanya dituntun dua
bocah berumur belum genap 10 tahun, saya cuma bisa pasrah. Sambil
menahan sesak, saya berjalan pelan-pelan dituntun kedua anak saya. Azka
di kiri, Azzam memegang tangan kanan.
Saya tak menghiraukan
ramainya pusat belanja ini. Meskipun kepala tidak terasa pusing, kaki
saya lemas sehingga saya harus pelan-pelan mengikuti langkah kedua anak
saya. Bahkan, dengan berusaha tetap tenang, kami bisa melewati eskalator
menuju lantai satu.
"Lho, kamu kenapa? Kok dingin banget? Kamu masuk angin nih kayaknya," kata istri saya, setelah kami bertemu dengannya.
Azka, anak saya yang nomor satu memotong. "Dada ayah sesak, keringatnya dingin Bu, ayah minta ke dokter," ujar Azka.
Saya
masih sadar, tetapi saya memang sudah tak mau bicara apa-apa. Dada saya
makin sesak. Karena itu, saya biarkan anak saya yang bicara untuk
menghemat energi supaya tidak pingsan.
"Kamu masuk angin nih. Ya sudah, kita pulang sekarang saja ya," kata istri saya.
"Enggak, ini aneh. Rumah sakit... ke rumah sakit sekarang," kata saya.
"Kok ke rumah sakit. Pulang aja ya. Kamu tunggu dan duduk di sini, aku beli minyak angin dulu," jawab istri saya.
Nyaris, marah saya meledak. Tetapi saya sadar, marah hanya akan menguras energi. Jadi, saya acuhkan ucapan istri saya.
Saya
juga tak mau duduk, tetapi tetap berdiri sembari berpegangan pada
dinding mal. Pikir saya, duduk hanya akan bikin sesak di dada semakin
parah.
Setengah berlari, istri saya kembali menghampiri. Dia baru selesai dari apotek.
"Kamu masuk angin nih, sini aku olesin dada kamu. Punggungnya juga sini," kata istri saya.
Saya diamkan istri saya berbuat demikian. Tetapi, hati saya makin kuat bahwa ini bukan masuk angin. Entah, feeling saya bilang lain.
"Sekarang ke rumah sakit. Cari taksi sekarang. Ini jantung, jantung," bentak saya.
Tanpa
banyak cakap, kami berempat bergegas ke luar pusat belanja. Dari tempat
kami berdiri, gerbang mal ini masih sekitar 200 meter.
Rasanya,
sudah lebih dari lima menit perubahan aneh pada kondisi badan saya ini
berlangsung. Saya sadari itu. Maka, pelan-pelan kami berjalan melewati
kerumunan. Saya dituntun kedua anak saya di kiri dan kanan. Istri saya
berjalan di belakang untuk menahan punggung saya.
"Itu taksi," kata istri saya, beberapa meter di pintu gerbang.
"Pak, ke rumah sakit ya, yang paling dekat," ujar istri saya.
Taksi langsung meluncur. Namun, baru sesaat masuk ke jalan raya, panik mulai melanda. Bukan apa-apa, dada saya makin sesak. Dashboard taksi ini seperti mengimpit. Badan saya juga makin lama semakin lemas.
"Tuhan...
saya ingin sampai lebih dulu ke rumah sakit, jangan dulu biarkan saya
mati," batin saya terus berkata demikian di antara istigfar saya di
mulut.
Doa saya terkabul. Saya sadari itu meskipun mata saya
terpejam menahan sakit di dada. Pasalnya, Jalan Margonda Raya yang
biasanya macet pada hari libur, siang itu nyaris lengang. Hari itu,
Kamis, 29 Mei 2014, adalah hari libur Kenaikan Isa Almasih.
Tak sampai 10 menit, saking ngebutnya, taksi sudah berbelok ke Rumah Sakit Mitra Keluarga, tak jauh dari Terminal Depok.
Tiba
di UGD, semangat saya kembali muncul. Saya keluar dari taksi sendiri
tanpa dibantu sopir taksi. Saya berjalan pelan-pelan, dan tetap diapit
kedua anak saya serta istri saya yang menahan bahu saya dari belakang.
"Dada sesak, keringat dingin," ujar istri saya ke petugas UGD yang datang membuka pintu sembari menyorongkan tempat tidur.
Saya ingat betul, saat itu saya langsung diminta duduk di tepi tempat tidur dan diminta diam sebentar.
"Angkat
lidahnya, Pak, telan ini dan habiskan," ujar seorang petugas sembari
memasukkan obat berbentuk bubuk ke balik lidah saya.
Sekonyong-konyong,
selesai melumat obat tersebut, nyeri di dada saya perlahan menghilang.
Petugas pun meminta saya berbaring, dan kemudian memasangkan selang
oksigen ke hidung saya. Tangan kiri saya pun lantas diberi cairan infus.
Memang,
meskipun rasa sesak di dada belum hilang, nyerinya sedikit berkurang.
Untuk itulah, saya diminta lagi untuk menghabiskan obat yang juga sudah
disiapkan oleh seorang suster.
Ada tujuh butir obat disorongkan
suster itu kepada saya. Sambil membawa segelas air, dia meminta saya
selekasnya minum obat tersebut.
"Habiskan, Pak," ujarnya.
Hanya
lima menit seusai menenggak habis ketujuh obat itu, nyeri di dada saya
hilang seketika. Tak ada lagi sesak, apalagi nyeri. Suhu tubuh saya pun
mulai berubah menjadi hangat.
Seorang dokter muda, dokter jaga di UGD, tampak menghampiri saya. Ia bilang, tujuh obat itu adalah obat jantung.
"Bapak
kena serangan jantung ringan. Terlambat lima menit saja, mungkin Bapak
sudah enggak ada lagi. Baiklah, Bapak kami rawat di sini ya," ujar
dokter muda tersebut.
Saya cuma mengangguk lemah. Dari balik
pintu UGD, saya lihat Azka dan Azzam, melambai-lambaikan tangan ke arah
saya sembari tersenyum. Kedua "pahlawan" saya itu tidak diizinkan masuk
ke dalam ruangan, termasuk istri saya yang repot ke sana kemari mengurus
perawatan selanjutnya.
Pembengkakan jantung
Hari
ini, Kamis (5/6/2014), tepat seminggu lalu serangan jantung ringan itu
terjadi, kondisi saya sudah berangsur pulih dan semakin baik setelah
dirawat selama enam hari di RS Mitra Keluarga. Vonis dokter, saya harus
mengurai kembali pola hidup sehat agar kejadian itu tak lagi terulang.
Saya
tak punya riwayat jantung. Saya pun suka berolahraga, terutama joging,
meskipun hanya dua kali seminggu. Bahkan, pada umur 38 tahun ini saya
masih menyalurkan hobi saya mendaki gunung.
Ya, dua pekan
sebelum kejadian ini, saya juga baru pulang mendaki Gunung Gede, Jawa
Barat, bersama teman-teman. Saya rutin mendaki gunung setahun satu atau
dua kali.
"Bapak memang kelihatan sehat dan banyak orang terkena
serangan jantung juga dalam kondisi sehat. Tapi, kemarin itu, saat
serangan datang, jantung bapak lemah untuk memompa oksigen. Sekarang,
kondisi Bapak sudah membaik, meskipun masih ada pembengkakan. Bapak
harus mengubah pola makan dan stop merokok," kata Dr Bona Dwiramajaya H,
SpJP, FIHA, yang merawat saya.
Beruntung, penanganan ketika
terjadi serangan itu bisa dilakukan secara cepat dan tepat, terutama
berkat bantuan istri dan kedua anak saya. Biasanya, dengan gejala umum
seperti keringat dingin yang berlebihan, dada sesak dan nyeri, serta
tengkuk dan bahu tegang bukan main, waktu-waktu krisis (golden time) kala serangan itu datang, orang masih belum ngeh bahwa itu serangan jantung ringan. Lazimnya, orang berpikir itu adalah masuk angin.
Memang, tak bisa dimungkiri, gejalanya seperti masuk angin, yang dalam bahasa Betawi, sudah kedalon
atau akut. Orang sering kali menganggapnya demikian. Bedanya, datangnya
sangat tiba-tiba dan berbarengan, mulai dari keringat dingin
berlebihan, dada sesak dan lebih nyeri, terasa tegang atau pegal mulai
sekitar tengkuk hingga bahu.
Di situlah feeling yang
kuat perlu Anda gunakan jika sewaktu-waktu gejala itu menimpa Anda.
Pasalnya, Anda sendiri yang merasakannya, bukan orang-orang di sekitar
Anda. Maka, camkan bahwa itu bukan masuk angin biasa....
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar